Emak, Durhaka kah aku ...
Sudah 2 tahun ini emak ikut tinggal di rumahku, emak yang sudah sepuh
dan berusia lebih dari 60 tahun. Dulu emak tinggal berdua dengan bapak
di desa, tapi semenjak bapak pergi mendahului emak, aku gak tega
meninggalkannya sendirian, kuajak emak ke rumahku di kota.
Awalnya
Bang Popon, abang tertuaku sempat mengajak emak tinggal bersamanya tapi
gak lama karena istrinya keberatan dengan sikap emak yang makin hari
makin rewel dan banyak maunya.
"Kakakmu kadang sudah nahan hati
dengan kelakuan emak, Dek, cerewetnya minta ampun," keluh bang Popon
ketika mengantar emak ke rumahku.
Semakin senja tingkah emak seolah
melampiaskan rasa ketika muda dulu. Emak dahulu terlalu penurut pada
bapak dan gak pernah ada maunya, sekarang ketika tua rasa yang dahulu ia
tahan dengan mudah ia ungkapkan.
"Nasi goreng pakai bumbu instan kayak gini gak enak."
"Pakaian jangan di-laundry, gak bersih, enak nyuci sendiri."
"Anakmu itu jajan terus, gak sehat entar batuk."
"Untuk apa beli hiasan dinding, buang-buang uang."
"Kalau hari Minggu jangan kesiangan, jangan pemalas."
Setiap
hari, selalu saja omelan emak mewarnai hari-hariku. Ketiga anakku
kadang kena sasaran ocehan emak, ada-ada saja yang salah di matanya.
"Dengarkan
saja, Dek, gak usah diladeni, wajar orang tua," nasehat suamiku ketika
aku mengeluhkan sikap emak yang kadang menjengkelkan.
"Kadang aku emosi juga, Bang, kalau lama-lama kayak gini."
Suamiku
tersenyum dan mencubit pipiku. "Alhamdulillah kita masih diberi nikmat
merawat orang tua, jangan sampai kelak kita menyesal ketika dia sudah
tiada."
Aku bergeming, benar juga.
*
Hari Senin pagi, suamiku
masih dinas di luar kota, kebetulan Bi Minah yang bantu di rumah
terlambat datang. Anak-anak rewel, mandi pun harus ribut, sarapan mesti
berantem dan pakai seragam lambatnya setengah mati.
"Ayo, Nak, buruan entar mama terlambat," ucapku gusar. Jam 8 pagi ini ada rapat di kantor.
Semalam aku gak enak badan, batuk dan pilek mungkin kecapekan karena sudah 3 hari bergadang mengerjakan laporan.
"Nak, cangkul kita dimana ya?" tanya emak ketika aku sedang memakaikan sepatu si bungsu.
"Gak
tahu, Mak, tanya Bi Minah saja di belakang," jawabku. Ada-ada saja emak
ini, dikala orang sibuk pagi-pagi dia sibuk nanyain cangkul.
"Kata Bi Minah dia gak tahu," ucap emak lagi.
"Cari di belakang, Mak," jawabku kesal. Apa mendesaknya coba mencari cangkul di jam genting seperti ini.
"Aisyah
ayo nak buruan." Aku memanggil putriku yang dari tadi tak keluar kamar.
Waktu semakin bergerak meninggalkan angka 7, aku semakin gelisah.
"Bentar, Ma, masih nyari buku PR semalam, gak ketemu," jawab Aisyah.
"Mama tunggu 5 menit, adikmu sudah di mobil semua. Kalau kamu belum keluar kami tinggal."
"Nak, kamu cari dulu cangkul, toh kamu belum pergi," ucap emak gusar.
Aku bergeming, malas menanggapi emak.
"Nak, ingat-ingat dulu dimana kamu naruh cangkulnya." Emak mendesak, raut wajahnya pun terlihat kesal.
Aisyah putriku berlari keluar rumah, ia segera masuk ke mobil.
"Aku dan anak-anak berangkat ya, Mak." Aku mengambil punggung tangan emak dan menciumnya cepat.
Emak menarik lenganku, "cari dulu cangkulnya," ucap emak.
"Entar sore ya, Mak. " Aku tersenyum, berusaha sabar.
"Emak mau sekarang!" Emak membentak.
"Mak,
aku ini sudah terlambat, hari ini ada rapat, kalau persentasiku gagal
bisa gawat. Emak jangan buat masalah dong, untuk apa coba nanya cangkul
sekarang? Wajar saja kalau istri Bang Popon gak betah sama emak kalau
rewel kayak gini, pagi-pagi cangkul,,,cangkul !!" Aku beranjak
meninggalkan emak, masuk mobil dan membanting pintunya. Kesal.
Sekilas kulihat emak terdiam dengan mata yang berkaca.
Jantungku
berdetak cepat seolah ada yang mengejar, napasku terasa sesak dan kedua
mataku memanas. Baru kali ini aku membentak emak, sebelumnya aku
berhasil menahan diri dari kerewelan emak namun kesabaran kali ini
sungguh teruji. Meledak sudah amarah ini.
"Mama jangan kasar gitu dong sama nenek," ucap Aisyah putriku.
Aku diam.
"Biasanya kan mama sabar," Yusuf putra keduaku menimpali.
"Nenek
bilang dulu waktu kecil mama orangnya rewel, kalau nanya gak bisa stop,
tapi nenek suka. Itu artinya mama pintar kata nenek. Terus mama juga
orangnya kalau ada mau gak bisa ditunda dan nenek bilang itu bagus
artinya mama orangnya gigih." Aisyah berkata pelan.
Aku bergeming
kehilangan kata-kata. Anakku benar, bukankah sifat emak dan aku kini
sama? Kami sama-sama rewel, banyak maunya, selalu gigih bila ada
keinginan tapi hanya ada satu yang membedakan. Emak menganggap sikapku
ini sebagai sebuah anugrah dan dengan senang hati menerimanya, tapi aku?
Dengan mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tak ada pembicaraan
lagi di mobil hingga ketiga anakku turun dan masuk ke gerbang sekolah,
ketiganya melambaikan tangan dengan mata yang juga berkaca. Emak yang
bagiku rewel itu adalah kesayangan bagi putra putriku.
Aku menepuk
setir mobil berkali-kali, sepuluh menit lagi pukul delapan, bila memacu
kendaraan dengan cepat maka aku masih bisa ke kantor tepat waktu. Tapi
ada yang mengganjal di hati, sebuah rasa berjudul penyesalan.
Baru 2
tahun emak di rumah, emak pun tak sakit-sakitan, masih bisa makan,
minum dan membersihkan diri sendiri, hanya sedikit rewel saja. Tapi aku,
anak yang telah 9 bulan dikandungnya, 2 tahun disusui, belasan tahun
dirawat dan disekolahkan hingga akhirnya menikah pun masih tetap
menyusahkannya. Begitu mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tubuhku bergetar dengan napas yang tersendat, tumpah sudah air mata ini. Emak.
*
Aku
segera memarkirkan mobil di garasi dan berlari ke kamar emak. Persetan
dengan rapat dan persentasi, aku harus segera memohon maaf emak.
Paling-paling pekerjaanku akan diambil alih oleh teman kantor dan tahun
ini gak dapat bonus. Itu gak penting, hati emak lebih berharga dari
apapun, tak kan kubiarkan retak dan hancur.
Kedua mataku menyisir kamar emak yang kosong. Kemana emak? Aku berlari ke dapur.
"Mana emak, Bi ?" tanyaku pada Bi Minah yang sedang mencuci piring.
"Di halaman belakang, Bu, tapi kayaknya dari tadi emak ngucek-ngucek mata terus gak tau kenapa.." kata Bi Minah.
Aku mulai resah.
Segera
aku ke halaman belakang rumah dimana banyak tanaman emak tumbuh subur.
Emak sedang menggali sesuatu dengan pisau kecil ketika aku
menghampirinya.
"Lagi apa, Mak?" tanyaku.
Emak menoleh dan tersenyum. "Gak ngantor?"
Aku menggeleng, "gak enak badan," bohongku.
"Emak
tadi mau minta cangkul buru-buru karena mau gali jahe merah ini.
Semalam emak dengar kamu batuk gak berhenti jadi emak mau buat wedang
jahe biar bisa kamu minum sebelum berangkat kerja makanya tadi emak
buru-buru." Emak masih menggali tanah dengan pisau kecil.
Aku bergeming.
"Mak gak berani pakai pisau dapur kamu, kan pisau mahal nanti rusak kalau kena tanah makanya tadi cari cangkul."
Kenapa tak ambil saja pisau dapur itu maaak,,, aku membathin. Dadaku kian sesak.
"Untung
ketemu pisau kecil ini,peninggalan bapakmu dulu disini, walau sudah
karatan tapi masih bisa dipakai pelan-pelan, ini emak sudah dapat banyak
jahenya." Emak menunjukkan lima ruas jahe merah di telapak tangannya.
Ia beranjak dan tersenyum. "Kamu istirahatlah, nanti wedang jahenya emak
antar ke kamarmu "
Ya Allah, ya Allah, berkali aku menyebut
nama-Nya. Duhai hati alangkah mudah syetan merasuki diri, betapa rapuh
pertahanan diri, durhakalah aku yang telah melukai hati wanita baik ini.
Aku segera berlari dan memeluk tubuh kurus itu dari belakang...
"Maafkan aku, Mak, maafkan aku,,, aku salah sudah membentak emak. "
Emak
berbalik dan memegang pundakku sambil tersenyum. "Gak apa." Emak
kembali memelukku dan menepuk pundakku pelan. "Istirahat lah, kamu
lelah," bisik emak.
T A M A T
"Setiap
orang tua akan sangat bahagia menghabiskan waktu merawat anaknya namun
sebaliknya tak semua anak memiliki ketulusan dalam merawat orang tuanya
walau hanya hitungan tahun."
Sudah 2 tahun ini emak ikut tinggal di rumahku, emak yang sudah sepuh
dan berusia lebih dari 60 tahun. Dulu emak tinggal berdua dengan bapak
di desa, tapi semenjak bapak pergi mendahului emak, aku gak tega
meninggalkannya sendirian, kuajak emak ke rumahku di kota.
Awalnya
Bang Popon, abang tertuaku sempat mengajak emak tinggal bersamanya tapi
gak lama karena istrinya keberatan dengan sikap emak yang makin hari
makin rewel dan banyak maunya.
"Kakakmu kadang sudah nahan hati
dengan kelakuan emak, Dek, cerewetnya minta ampun," keluh bang Popon
ketika mengantar emak ke rumahku.
Semakin senja tingkah emak seolah
melampiaskan rasa ketika muda dulu. Emak dahulu terlalu penurut pada
bapak dan gak pernah ada maunya, sekarang ketika tua rasa yang dahulu ia
tahan dengan mudah ia ungkapkan.
"Nasi goreng pakai bumbu instan kayak gini gak enak."
"Pakaian jangan di-laundry, gak bersih, enak nyuci sendiri."
"Anakmu itu jajan terus, gak sehat entar batuk."
"Untuk apa beli hiasan dinding, buang-buang uang."
"Kalau hari Minggu jangan kesiangan, jangan pemalas."
Setiap
hari, selalu saja omelan emak mewarnai hari-hariku. Ketiga anakku
kadang kena sasaran ocehan emak, ada-ada saja yang salah di matanya.
"Dengarkan
saja, Dek, gak usah diladeni, wajar orang tua," nasehat suamiku ketika
aku mengeluhkan sikap emak yang kadang menjengkelkan.
"Kadang aku emosi juga, Bang, kalau lama-lama kayak gini."
Suamiku
tersenyum dan mencubit pipiku. "Alhamdulillah kita masih diberi nikmat
merawat orang tua, jangan sampai kelak kita menyesal ketika dia sudah
tiada."
Aku bergeming, benar juga.
*
Hari Senin pagi, suamiku
masih dinas di luar kota, kebetulan Bi Minah yang bantu di rumah
terlambat datang. Anak-anak rewel, mandi pun harus ribut, sarapan mesti
berantem dan pakai seragam lambatnya setengah mati.
"Ayo, Nak, buruan entar mama terlambat," ucapku gusar. Jam 8 pagi ini ada rapat di kantor.
Semalam aku gak enak badan, batuk dan pilek mungkin kecapekan karena sudah 3 hari bergadang mengerjakan laporan.
"Nak, cangkul kita dimana ya?" tanya emak ketika aku sedang memakaikan sepatu si bungsu.
"Gak
tahu, Mak, tanya Bi Minah saja di belakang," jawabku. Ada-ada saja emak
ini, dikala orang sibuk pagi-pagi dia sibuk nanyain cangkul.
"Kata Bi Minah dia gak tahu," ucap emak lagi.
"Cari di belakang, Mak," jawabku kesal. Apa mendesaknya coba mencari cangkul di jam genting seperti ini.
"Aisyah
ayo nak buruan." Aku memanggil putriku yang dari tadi tak keluar kamar.
Waktu semakin bergerak meninggalkan angka 7, aku semakin gelisah.
"Bentar, Ma, masih nyari buku PR semalam, gak ketemu," jawab Aisyah.
"Mama tunggu 5 menit, adikmu sudah di mobil semua. Kalau kamu belum keluar kami tinggal."
"Nak, kamu cari dulu cangkul, toh kamu belum pergi," ucap emak gusar.
Aku bergeming, malas menanggapi emak.
"Nak, ingat-ingat dulu dimana kamu naruh cangkulnya." Emak mendesak, raut wajahnya pun terlihat kesal.
Aisyah putriku berlari keluar rumah, ia segera masuk ke mobil.
"Aku dan anak-anak berangkat ya, Mak." Aku mengambil punggung tangan emak dan menciumnya cepat.
Emak menarik lenganku, "cari dulu cangkulnya," ucap emak.
"Entar sore ya, Mak. " Aku tersenyum, berusaha sabar.
"Emak mau sekarang!" Emak membentak.
"Mak,
aku ini sudah terlambat, hari ini ada rapat, kalau persentasiku gagal
bisa gawat. Emak jangan buat masalah dong, untuk apa coba nanya cangkul
sekarang? Wajar saja kalau istri Bang Popon gak betah sama emak kalau
rewel kayak gini, pagi-pagi cangkul,,,cangkul !!" Aku beranjak
meninggalkan emak, masuk mobil dan membanting pintunya. Kesal.
Sekilas kulihat emak terdiam dengan mata yang berkaca.
Jantungku
berdetak cepat seolah ada yang mengejar, napasku terasa sesak dan kedua
mataku memanas. Baru kali ini aku membentak emak, sebelumnya aku
berhasil menahan diri dari kerewelan emak namun kesabaran kali ini
sungguh teruji. Meledak sudah amarah ini.
"Mama jangan kasar gitu dong sama nenek," ucap Aisyah putriku.
Aku diam.
"Biasanya kan mama sabar," Yusuf putra keduaku menimpali.
"Nenek
bilang dulu waktu kecil mama orangnya rewel, kalau nanya gak bisa stop,
tapi nenek suka. Itu artinya mama pintar kata nenek. Terus mama juga
orangnya kalau ada mau gak bisa ditunda dan nenek bilang itu bagus
artinya mama orangnya gigih." Aisyah berkata pelan.
Aku bergeming
kehilangan kata-kata. Anakku benar, bukankah sifat emak dan aku kini
sama? Kami sama-sama rewel, banyak maunya, selalu gigih bila ada
keinginan tapi hanya ada satu yang membedakan. Emak menganggap sikapku
ini sebagai sebuah anugrah dan dengan senang hati menerimanya, tapi aku?
Dengan mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tak ada pembicaraan
lagi di mobil hingga ketiga anakku turun dan masuk ke gerbang sekolah,
ketiganya melambaikan tangan dengan mata yang juga berkaca. Emak yang
bagiku rewel itu adalah kesayangan bagi putra putriku.
Aku menepuk
setir mobil berkali-kali, sepuluh menit lagi pukul delapan, bila memacu
kendaraan dengan cepat maka aku masih bisa ke kantor tepat waktu. Tapi
ada yang mengganjal di hati, sebuah rasa berjudul penyesalan.
Baru 2
tahun emak di rumah, emak pun tak sakit-sakitan, masih bisa makan,
minum dan membersihkan diri sendiri, hanya sedikit rewel saja. Tapi aku,
anak yang telah 9 bulan dikandungnya, 2 tahun disusui, belasan tahun
dirawat dan disekolahkan hingga akhirnya menikah pun masih tetap
menyusahkannya. Begitu mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tubuhku bergetar dengan napas yang tersendat, tumpah sudah air mata ini. Emak.
*
Aku
segera memarkirkan mobil di garasi dan berlari ke kamar emak. Persetan
dengan rapat dan persentasi, aku harus segera memohon maaf emak.
Paling-paling pekerjaanku akan diambil alih oleh teman kantor dan tahun
ini gak dapat bonus. Itu gak penting, hati emak lebih berharga dari
apapun, tak kan kubiarkan retak dan hancur.
Kedua mataku menyisir kamar emak yang kosong. Kemana emak? Aku berlari ke dapur.
"Mana emak, Bi ?" tanyaku pada Bi Minah yang sedang mencuci piring.
"Di halaman belakang, Bu, tapi kayaknya dari tadi emak ngucek-ngucek mata terus gak tau kenapa.." kata Bi Minah.
Aku mulai resah.
Segera
aku ke halaman belakang rumah dimana banyak tanaman emak tumbuh subur.
Emak sedang menggali sesuatu dengan pisau kecil ketika aku
menghampirinya.
"Lagi apa, Mak?" tanyaku.
Emak menoleh dan tersenyum. "Gak ngantor?"
Aku menggeleng, "gak enak badan," bohongku.
"Emak
tadi mau minta cangkul buru-buru karena mau gali jahe merah ini.
Semalam emak dengar kamu batuk gak berhenti jadi emak mau buat wedang
jahe biar bisa kamu minum sebelum berangkat kerja makanya tadi emak
buru-buru." Emak masih menggali tanah dengan pisau kecil.
Aku bergeming.
"Mak gak berani pakai pisau dapur kamu, kan pisau mahal nanti rusak kalau kena tanah makanya tadi cari cangkul."
Kenapa tak ambil saja pisau dapur itu maaak,,, aku membathin. Dadaku kian sesak.
"Untung
ketemu pisau kecil ini,peninggalan bapakmu dulu disini, walau sudah
karatan tapi masih bisa dipakai pelan-pelan, ini emak sudah dapat banyak
jahenya." Emak menunjukkan lima ruas jahe merah di telapak tangannya.
Ia beranjak dan tersenyum. "Kamu istirahatlah, nanti wedang jahenya emak
antar ke kamarmu "
Ya Allah, ya Allah, berkali aku menyebut
nama-Nya. Duhai hati alangkah mudah syetan merasuki diri, betapa rapuh
pertahanan diri, durhakalah aku yang telah melukai hati wanita baik ini.
Aku segera berlari dan memeluk tubuh kurus itu dari belakang...
"Maafkan aku, Mak, maafkan aku,,, aku salah sudah membentak emak. "
Emak
berbalik dan memegang pundakku sambil tersenyum. "Gak apa." Emak
kembali memelukku dan menepuk pundakku pelan. "Istirahat lah, kamu
lelah," bisik emak.
T A M A T
"Setiap
orang tua akan sangat bahagia menghabiskan waktu merawat anaknya namun
sebaliknya tak semua anak memiliki ketulusan dalam merawat orang tuanya
walau hanya hitungan tahun."
Tidak ada komentar: